Senin, 24 Juni 2013

kebakaran


kebakaran hutan


Kebakaran hutan di Kalimantan Timur yang terjadi pada tahun 1983 merupakan suatu fenomena bencana di hutan hujan tropis dataran rendah di Indonesia. Peristiwa itu menunjukan bagaimana kondisi alam dan kegiatan manusia dapat secara bersama-sama menimbulkan suatu situasi, sehingga bahwa hutan di daerah tropika yang terletak di khatulistiwa itu bisa terbakar.burning biodiversity
Berdasarkan penelitian Lennertz dan Pance (1983) beserta teman kerjanya dari Indonesia tercatat 3,5 juta hektar hutan telah mengalami rusak berat akibat musim kemarau yang panjang pada tahun 1982 dan kemudian diikuti kebakaran pada awal tahun 1983. Hutan yang rusak meliputi 800.000 hektar hutan primer, 1.400.000 hektar hutan yang telah ditebang kayu gelondongannya, 750.000 hektar hutan sekunder, perladangan, dan penghunian penduduk, serta 550.000 hektar rawa gambut dan hutan rawa gambut. Di antara hutan yang mengalami musibah itu adalah Taman Nasional Kutai, hutan penelitian, dan banyak areal hutan untuk tanaman percobaan.Kawasan hutan di Kalimantan Timur sejak tahun 1982 keadaannya cukup kering untuk sudah terbakar dan merupakan masa buruk bagi Kalimantan dalam abad itu. Analisis yang dibuat Leighton (1984) terhadap Kalimantan Timur mengenai pola curah hujan tahunan menunjukan, bahwa daerah itu sangat dipengaruhi oleh menghangatnya air laut musiman yang melanda perairan Peru dan Ekuador yang dikenal dengan nama El Nino.
Fenomena ini mengakibatkan lebatnya hujan di daerah Pasifik Timur dan berkurangnya hujan di Pasifik Barat. Ada dugaan bahwa kekeringan di Kalimantan yang diderita tahun itu mungkin merupakan kejadian yang berulang setiap 100 tahun. Data kejadian di masa lalu tidak dapat diperoleh sehingga pendapat itu tidak dapat diuji kebenarannya. Sebagaimana diketahui, kebakaran justru terjadi di kawasan hutan yang kompleks dengan kekayaan jenis yang masih tersisa di kawasan Asia Tenggara. Kalimantan Timur adalah pusat penyebaran jenis-jenis pohon, termasuk keluarga Dipterocarpaceae yang bernilai ekonomi penting.
Kawasan yang terletak di sepanjang garis Khatulistiwa itu merupakan habitat dari banyak jenis satwa yang populasinya jarang dan terancam punah, seperti mawas (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), banteng (Bos Javanicus), beruang madu (Helartos malayanus), dan banyak jenis burung rangkok, serta jenis pohon terkenal, seperti meranti, liana, anggrek, palma, dan pohon buah yang hidup liar. Beberapa jenis hidupan liar dapat menghindari dari api, akan tetapi banyak lainnya yang musnah. Diduga banyak jenis tanaman dan binatang yang langka yang belum sempat dikenal oleh ahli biologi telah lenyap akibat kebakaran.
Kebakaran di Kalimantan Timur telah pula mengancurkan kayu niaga dalam jumlah yang amat besar. Lennertz dan Pance (1983) menyebutkan bahwa di dalan hutan yang belum ditebang, sabagai akibat dari kebakaran itu kira-kira 50% kayu yang ekonomis mati tebakar atau mengalami kekeringan, dengan nilai mencapai US $ 2 miliard. Diperkirakan 60% hutan yanh telah dikonsesikan juga rusak sehingga tidak menghasilkan sama sekali kayu tebangan. Kerugian ini diduga berkisar antara US $ 3,6 hingga 6 miliard berdasarkan perhitungan nilai kayu yang potensial. Banyak pohon di hutan yang terhindar dari api saat ini telah diganggu oleh serangga penggerek kayu serta oleh jamur parasit dan tidak lama lagi akan mati juga. Pohon-pohon lainnya mungkin akan tertebang juga seperti pohon-pohon yang lain. Banyak pertanyaan timbul mengenai bagaimana proses pemulihan hutan dari kerusakan hutan akibat kebakaran oleh api yang besar akan berlangsung. Prosesi suksesi tentunya berbeda bila dibandingkan dengan kejadian di kawasan hutan yang diramba oleh kasus perladangan berpindah-pindah.
Dari penelitian Riswan dan Yusuf (1984) disimpulkan bahwa kebakaran hutan di KALTIM menyebabkan kematian 130 pohon per hektar di hutan primer dan 197 pohon per hektar di hutan sekunder lama. Enam bulan sesudah kebakaran ternyata tinggal hampir 23% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan primer sedangkan 32,5% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan sekunder lama bertunas kembali dan pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) tampaknya merupakan tanaman yang palinh tahan dan mampu hidup kembali sesudah masa kebakaran. Dari survei-survei terlihat bahwa beberapa daerah yang terbakar itu telah ditumbuhi kembali oleh vegetasi sekunder melebat, seperti tanaman-tanaman merambat terbuka dari Convolvulaceae dan Cucurbitaceae. Di tempat-tempat terbuka vegetasi sekunder didominasi olehMacaranga, Trema, Mollotus, Omallanthus, dan jenis tanaman sekunder dan semak-semak. Tentu saja daerah yang terbakar berat tidak pernah lagi pulih seperti keadaannya semula dengan keanekaragaman ekologinya.
Banyak lagi timbul masalah lain dari peristiwa kebakaran hutan di KALTIM. Antara lain erosi tanah, perusakan tanah, banjir dan hanyut oleh sungai Mahakam. Masalah terakhir ini dapat menimpa usaha perikanan di daerah pedalaman di sepanjang sungai dan menyulitkan operasi pembalakan kayu yang menggantungkan usahanya kepada transportasi sungai. Ada kemungkinan besar bahwa timbulnya kebakaran-kebakaran menyebabkan erosi terus-menerus dan pada waktu yang lain tertimpa kekeringan. Sangat banyak tegakan pohon yang mati dan padatnya tumbuhan penutup tanah akan mudah tersulut api jika lingkungannya kering.